Birgaldo Sinaga: ANSAR AHMAD Itu…

Beberapa hari lalu, teman lama saya waktu di KNPI mengajak minum teh tarik sembari menikmati martabak. Sudah lama kami tak bersua. Mungkin terakhir jumpa akhir 2012.

Di kedai di kawasan Nagoya itu, kami mojok ngobrol ringan seputaran Batam yang sebentar lagi orang boleh berkunjung ke Singapore. Sejak Maret pintu gerbang Singapore ditutup. “Bro itu Pak Ansar…Cagub Kepri”, ujar teman saya sedikit berbisik.

Saya menoleh. Pak Ansar melihat saya. Ia tersenyum sambil menyapa ramah. “Apakabar dinda Birgaldo…sudah lama tidak Batam ya. Sibuk di Jakarta terus”, ujar Pak Ansar hangat.

Saya menonjok tangannya dengan tinju. Sebuah jabatan tangan khas pandemi Covid 19. Saya masuk Pulau Batam pertengahan tahun 1997. Batam masih sepi masa itu. Kawasan Industri belum seramai sekarang.

Hanya ada kawasan Industri Mukakuning. Hampir semua pabrik di Mukakunging Industrial Park bergerak di bidang manufaktur elektronik. Setamat kuliah, saya direkrut salah satu perusahaan elektronik Jepang. Gajinya cukup lumayan kala itu. Dapat rumah tinggal juga.

Di seberang Pulau Batam, ada Pulau Bintan. Pulau Bintan 3 kali lebih luas dari Batam. Penduduknya rerata nelayan. Masih sangat kental suasana kampung nelayannya.

Batam dan Bintan bertetangga dengan Singapore dan Malaysia. Dari Batam ke Bintan cukup 15-30 menit naik kapal pancung. Bagi kami yang bekerja di Batam, kami sering berlibur ke Bintan menikmati pantai dan suasana kampung nelayan.

Sudah barang tentu kehidupan di Bintan jauh dari sejahtera. Kemiskinan khas kampung nelayan hal yang lazim terlihat. Saya sering mengunjungi Bintan pada tahun 2000an. Teman2 saya banyak yang bekerja di Kawasan Industri Lobam. Kebetulan, teman saya punya pacar bekerja di Lobam.

Bagi kami yang bekerja di Batam, orang yang bekerja di Lobam sering kami ledek. Bekerja di Batam ibarat kerja di daerah Sudirman Thamrin, sedangkan mereka ibarat bekerja di daerah Cawang. Begitulah kastanya Batam dan Bintan.

“Bang ..abang belum tahu ya di Bintan setiap keluarga yang anggota keluarganya meninggal dunia dapat uang duka 1 juta dari pemda Bintan”, ujar Binsar Marbun teman saya waktu saya kunjungi tahun 2000an.

“Masak sih. Wah hebat betul bupati kalian”, ujar saya tidak percaya. Nah, kemarin waktu ketemu Pak Ansar Ahmad di kedai kopi saya tanya cerita teman saya 15 tahun yang lalu itu. Ansar Ahmad menjabat Bupati Kabupaten Bintan pada 2005-2015.

Di masa awal pemerintahannya, Bintan masih sangat tertinggal dari kabupaten lain. Panjang jalan masih sangat pendek. Untuk transportasi masih pake kapal pancung.

Kemiskinan begitu tinggi. Ada 7000 rumah tidak layak huni ditempati warga. Sementara PAD Pendapatan Asli Daerah hanya 80 M. APBD total selitar 400 M.

Saya bertanya di kedai kopi itu. “Bang Ansar, bagaimana abang bisa menolong dan membangun Bintan di tengah duit pemda yang cekak?”. “Saya pergi ke Jakarta dinda. Berminggu2 mendekati pejabat PU. Juga melobby Komisi V DPR”, ujar Bang Ansar .

Bang Ansar tahu uang di kas daerah tidak akan mampu membangun Bintan. Uang sekecil itu sudah habis 70 persen untuk belanja pegawai. Sisanya mau bangun apa?

“Alhamdulilah…Kementerian PU mau membangun jalan di Bintan”, ucap Bang Ansar. “Lho kok bisa Bang? Buka nkah di Bintan tidak ada jalan nasional?”, tanya saya heran.

“Nah itulah seninya melobby. Kita yakinkan jalan itu akan membuka akses pariwisata kelas dunia. Tanpa ada jalan, dunia usaha turis Bintan bakal buntu. Jadilah nama jalan itu jalan strategis nasional”, ujar Bang Ansar bangga. Wah boleh juga terobosannya. Tidak banyak kepala daerah turun langsung melobby pusat.

Biasanya bupati mengirim bawahannya. Jalan Lintas Barat Bintan akhirnya terbangun. Disambung dengan 6 jembatan. Sekarang Pulau Bintan bisa dilalui dengan kendaraan darat.

“Bang Ansar..benar gak dulu waktu abang Bupati ada 7000 rumah kumuh dibangun? Dari mana duitnya?”, tanya saya. “Saya lobby Pak Gubernur Sani”, ujar Bang Ansar.

Ansar menghitung ada 7000 rumah tidak layak huni. Lantai rumah masih tanah. Dinding dari papan. Atap dari pelepah. MCK masih terbuka. Sanitasi buruk.

Berdasar MDG’s ada 8 penilaian soal rumah yang menjadi dasar peringkat kemiskinan. Bintan termasuk kelompok daerah yang miskin itu.

Ansar menghitung. Anggaran yang bisa dialokasikan hanya 30 M. Kalo rerata rumah bernilai 100 juta, maka hanya 300 rumah terbangun dalam 1 tahun.

“Sebenarnya anggaran 30 M itu tertinggi se-Kepri. Daerah lain rerata 4-6 M saja”, ujar Ansar. Ansar menemui Pak Gubernur Sani. Ia meyakinkan jika gotong royong, maka kemiskinan warga bisa ditekan.

Pak Sani setuju. 300 rumah tanggung jawab Bupati, 400 rumah tanggung jawab Gubernur. Tahun berikutnya meningkat. Dalam tempo 5 tahun rumah tidak layak huni warga miskin itu akhirnya menjadi layak dihuni.

Kini Bintan telah menjadi kawasan eksotis. Bukan lagi kawasan tertinggal. Daerah pariwisata pantainya kelas dunia. Jalan2nya kelas nasional. Mulus dan lebar.

Tidak heran, saat pilkada periode ke 2, Ansar menang mutlak hampir 80 persen lebih. Semua warga Bintan begitu mencintai Ansar. Ansar benar2 tulus dan berpihak pada rakyat.

“Nanti kita ngobrol2 lagi ya dinda…ini sudah dipanggil warga mau ketemu. Sudah lama mereka menunggu”, ucap Bang Ansar bergegas sambil memukul pundak saya. Saya berdiri sembari berucap.. “Selamat berjuang Bang..”.

Tidak banyak sosok pemimpin yang berani menerobos kebuntuan. Biasanya prinsip pemimpin yang tidak punya inovasi adalah business as usual. Bekerja seperti biasa saja. Ansar Ahmad sosok pendobrak kebuntuan miskin anggaran itu punya keberanian menerobos.

Ia tidak segan menongkrongi gedung DPR dan kementerian PUPR. Ia memimpin sendiri misi merebut anggaran pusat. Dan hasilnya kini dinikmati warga Bintan.

Saya pikir, sosok pemimpin seperti ini yang dibutuhkan Kepri. Sosok fihgter. Petarung. Pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyatnya.