
SUARATEMPATAN.COM – Pendiri Perkumpulan Anak Tempatan (Perpat), Saparuddin Muda membutuhkan perjuangan dan pengorbanan untuk mendapatkan gelar Putra Kelana Jaya.
Hal ini diungkapkannya saat berbincang dengan suaratempatan.com, beberapa waktu lalu di depan kediamannya di Bengkong.
Semuanya berawal dari jiwanya yang terusik saat melihat kampung-kanpung tua yang ada di Kota Batam keberadaannya semakin terpinggirkan.
Ia yang lahir dan besar di Bengkong juga merasakan hal serupa. Terdapat puluhan kampung tua di Batam, beberapa diantaranya nasibnya nyaris di ujung tanduk karena tergerus pembangunan Kota Batam.
Mereka yang ada di Batam pada tahun 2000-an pasti masih bisa mengingat bagaimana Saparuddin Muda dan Perpat berjuang. Salah satu cara yang digunakan ialah memobilisasi massa agar suara warga tempatan didengarkan.
Bukan hanya sekali, dua kali, namun upaya berjuang mengembalikan keberadaan kampung tua itu dilakukan secara masif. Tujuannya hanya satu, kampung tua dilestarikan dan warganya hidup tenang.
“Alhamdulillah sekarang kita masih menyaksikan kampung-kampung tua di Batam tetap ada, termasuk Bengkong ini,” ujarnya.
Perjuangan dan kiprahnya inilah yang akhirnya membuat para petinggi Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam memberikan gelar Putra Kelana Jaya kepada Saparuddin Muda pada tahun 2001 silam.

Gelar yang diberikan kepadanya hanya satu, diperuntukkan khusus untuk dirinya. Putra artinya putra, kelana artinya berkelana untuk berjuang dan jaya artinya perjuangannya itu akhirnya berhasil.
Hal ini berbeda dengan beberapa gelar yang diberikan untuk orang-orang yang juga dianggap berjasa seperti gelar Dato Setia Amanah. Gelar ini diberikan untuk para kepala daerah. Satu gelar untuk beberapa orang.
Ketika akhirnya perjuangan Perpat berhasil, kampung tua dikembalikan keberadaannya, Sapar justru merasa itulah awal dari perjuangannya.
Ia pun ikut menata kampungnya dengan kemampuan dan kerja sama dengan sejumlah pihak. Jika kita sekarang berkeliling Bengkong, entah itu Bengkong Laut atau Bengkong Sadai pasti melewati tiga jembatan.
Ketiga jembatan itu menjadi bukti bagaimana Saparuddin Muda ingin akses jalan bagi warga Bengkong memadai. Dari Bengkong Laut – Bengkong Sadai ada satu jembatan, sementara yang ke arah Ocarina ada dua jembatan.
Meski tidak semua pembangunannya menggunakan uang pribadi, Sapar terbukti mampu menjalin kerja sama baik dengan pemerintah dan swasta untuk mewujudkan jembatan-jembatan tadi.
“Dulu ayah saya berpikir aneh melihat bagaimana saya menyusun kayu kayu sebagai jembatan. Namun akhirnya saya buktikan akhirnya bukan hanya jembatan kayu yang ada, namun beton permanen,” ungkapnya.
Putra Kelana Jaya tak berhenti sampai di situ. Sebuah terobosan dilakukannya dengan mendirikan sebuah yayasan yang diberinya nama Hang Tuah. Di bawah naungannya adalah Pondok Tahfiz Al-Qur’an yang usianya mau mendekati satu tahun.
Pondok ini diresmikan oleh Ansar Ahmad yang kala itu Calon Gubernur Provinsi Kepri didampingi Marlin Agustina yang menjadi Wakil Calon Gubernur Kepri.
Pengelolaan pondok ini diserahkan Sapar kepada seorang putra tempatan yang lahir di Belakangpadang, yakni Ustaz Syafid. Sementara untuk gurunya, didatangkan dari sejumlah daerah di jawa.
Para hafiz dan hafizah inilah yang sekarang menggembleng sedikitnya 80-an santri untuk menjadi penghafal Al-Quran dalam waktu tiga tahun.
Sapar sendiri yang merancang bangunannya, dan dengan uang pribadinya ia mendirikannya. Kini belum semua ruangan pondok selesai, sehingga Sapar menggunakan beberapa kamar di rumahnya sebagai mess pasa santri.
Bagi santri program tahfiz Al-Qur’an, mereka mendapatkan beasiswa full selama pandemi Covid-19. Namun Sapar tengah mengupayakan agar full beasiswa ini akan terus diberikan meski suatu saat nanti Covid-19 berakhir.
Tekad memberikan bekal pendidikan agama kepada anak-anak muda yang dilakukan Sapar menjadi salah satu alasan mengapa Ustaz Syafid bersedia bergabung.

“Belia total ketika membangun pondok membuat saya dan teman-teman pengajar merasa terhormat diminta bergabung,” pengakuan Ustaz Syafid kepada suaratempatan.com.
Padahal, program tahfiz di pondok pesantren saat ini tengah menjadi incaran. Ibaratnya jurusan favorit di sebuah perguruan tinggi, namun Sapar menggratiskan biaya bagi santri di Pondok Tahfiz Yayasan Hang Tuah.
Sapar lalu bercerita, bagaimana ia harus bersekolah pada zaman dahulu. Jika laut pasang ia harus naik sampan menuju sekolahnya di Ibnu Sina yang bangunannya hanya ada tiga lokal.
Saat laut surut ia harus melewati sungai bertelanjang kaki dan baru mengenakan sepatu ketika sampai di sekolah.
Ketika akhirnya ia hanya mampu bertahan sampai SMP, ia bertekad tidak akan membiarkan anak-anaknya dan anak-anak orang lain bernasib sepertinya.
Lantas, berhentikah Panglima Saparuddin Muda berjuang?
Belum, kini ia tengah merancang pembangunan Sekolah Tinggi Putra Kelana Jaya. Lahannya sudah ada, di samping Pondok Tahfiz Hang Tuah, di depan Masjid Jami Kelana Jaya.
Begitulah sepenggal kisah nyata tentang seorang Saparuddin Muda yang tidak banyak orang tahu. (fut)