Surat Terbuka untuk Semua Calon Gubernur Kepri yang Berisi Harapan
SUDAH waktunya saatnya, saya ingin menulis tentang pemimpin merakyat ini sejak lama. Cuma, waktu yang selalu menjadi kendala. Berbicara kata pemimpin merakyat, siapa yang ada di benak kalian ketika muncul kata-kata ini? Romo(Suryo Respationo) ? Bang Is? (Isdiianto) Atau bahkan Bang Ansar (Ansar Ahmad)? Ya. Tren Pemimpin merakyat saat ini seakan dimiliki oleh pemimpin yang mengadakan blusukan langsung ke rakyatnya. Apakah hanya itu standarisasinya? Bukankah sebagai pemimpin sudah tugasnya untuk memperhatikan nasib rakyat yang dipimipinnnya.
Jika saya boleh mendefinisikan tentang makna dari pemimpin merakyat ini. Aku bisa bilang seperti ini sangat susah lho diwujudkan. Kenapa aku sangat kekeuh dengan argument tadi. Ya, karena demokrasi saja sudah jauh dari kata ideal apalagi pemimpinnya yang notabene otak di dalamnya.
Selanjutnya tak lengkap rasanya sebuah bait teori tidak dilengkapi dengan contoh. Ya contoh pemimpin yang paling gampang disebutkan adalah Bung Karno sang Fouding father. Bung Karno merupakan seseorang yang sudah terlahir dengan Karismanya dan juga tak ketinggalan merasuknya dirinya ke jiwa — jiwa rakyatnya. Sukarno memang diciptakan untuk rakyat karena berasal dari rakyat. Suharto sedikit berbeda, dirinya dari awal sudah memiliki wibawa tinggi karena merupakkan petinggi ABRI juga. Suharto memperjuangkan kepentingan rakyatnya dengan berkoar-koar di komunitas-komunitas baik di level internasional dan kerjasama dengan negara lain.
Menilik beberapa contoh di atas, label karisimatik tak bisa dilepaskan dari mereka. Namun ada yang satu yang mungkin kurang, bahwa mereka kurang dekat dengan rakyat. Dalam artian menjadi tipe yang eksklusif buat rakyatnya. Rakyat pun segan untuk mengabarkan hal — hal dengan mereka. Jadinya demo adalah salah satu cara berekspresi ke mereka. Gerakan 1959 dan 1998 adalah bukti pergerakan yang jadi ranah teatrikal rakyat kepada pemimpinnya.
Pemimpin — pemimpin Indonesia selanjutnya merupakan pemimpin yang belajar dari pengalaman sejarah. Kini mereka lebih dekat dengan rakyat. Kecanggihan teknologi membantu terwujudnya hal ini. Jokowi adalah salah satu bukti konkrit akan hal ini yang telah dirintis semenjak beliau menjabat sebagai walikota solo. Namun, karena keterbukaan inilah banyak masukan — masukan yang membangun hingga menjatuhkan. Rakyat seperti tidak ada rasa takut terhadap pemimpinnya, dan mereka bebas menyuarakan pendapatnya sebebas — bebasnya. Di sini pemimpin akan terlihat tidak ada wibawa, apalagi ketika hal ini dilihat dan dilakukan oleh orang banyak.
Aku jadi ingat sebaik ini dan semengayomi itu dengan anggotanya mungkin tak akan menimbulkan suatu celah bagi anggotanya untuk menyerangnya. Namun, aku yakin sosok Kepepemipinan Kepri di sepantaranbisa dinilai . Ya,walaupun ada seorang sangat baik sebagai pemimpin. Kadang sebagai pemimpin kita harus berani dan jangan ragu untuk tegas di depan anggota — anggota. Ketika berbicara ini aku merujuk ke sosok ideal pemimpin yaitu Rasulullah dan para sahabatnya. Semua pemimpin itu pada zamannya merupakan khalifah yang paling dekat dengan rakyatnya. Tapi disuatu sisi mereka tegas dalam mengambil keputusan mengenai yang haq dan bathil. Umar contohnya, dia tak segan untuk memarahi rakyatnya yang salah, namun hidupnya juga bukan hidup yang elite namun sangat sederhana dan minimal, zuhudnya adalah keungulannya.
Satu hal sebenarnya narasi besar ku di atas. Sebagaimanapun tipe kepemimpinanmu itu tidak salah, namun yang jadi tujuan adalah pemimpin harus meliliki pengaruh. Hal ini wajib dalam sebuah tanduk kepemimpinan. Pemimpin tanpa pengaruh tak berbeda seperti pemimpi yang berjalan sendiri. Dengan cara apa mewujudkannya, mulailah dari sekarang untuk dekat dengan orang lain (Anda yang harus mulai), meningkatkan harus meliliki pengaruh. Hal ini wajib dalam sebuah tanduk kepemimpinan. Pemimpin tanpa pengaruh tak beda seperti pemimpin diri dengan tetap berada di tengah — tengah rakyatmu. Jadilah pemilih cerdas .Gunakan Hak Pilihmu Dengan Mengutamakan Protokol Kesesehatan. Salam, Dr. J 666. (DR. Jaya Wardana)